Sebuah Gejala Kemunduran Islam di Indonesia (Belajar Al-Quran)
Saya menulis ini dalam kondisi sudah mengikhlaskan apapun yang sudah terjadi dan merugikan saya. Saya berusaha menulis artikel ini sebagai cara mengungkapkan kegelisahan saya sebagai umat muslim di Indonesia dan kekhawatiran akan semakin memburuknya kualitas umat Islam di Indonesia. Tidak ada rasa marah lagi dalam diri saya, hanya saya merasa harus membagikan hal ini kepada orangtua murid Islam di Indonesia supaya mereka bisa bersiap dan lebih berhati-hati dalam memilih tempat pendidikan untuk anak-anak.
Siapa orangtua muslim yang tidak ingin anaknya pandai membaca Al-Quran? Hapal beberapa hadits shahih dan mencintai agamanya dalam setiap hembusan napasnya? Saya rasa semua yang mencintai agama Allah SWT pasti mengharapkan hal ini. Tentu saja salah satu caranya adalah dengan menyekolahkan anaknya di sekolah yang berlandaskan Islam. Terutama yang memiliki program “Baca Al-Quran” (BAQ) yang baik. Itulah kenapa saya dan istri memutuskan untuk mempercayakan pendidikan anak kami kepada di sebuah SMP Islam di Semarang. Karena disana menawarkan sebuah metode BAQ yang berdiri diluar lingkup sekolah dan di supervisi langsung oleh organisasi induk di Surabaya, sebut saja namanya “U”.
U ini dalam promosinya menyebut-nyebut bahwa mereka adalah lembaga pendidikan Al-Quran yang mencanangkan program pembentukan “Generasi Cinta Al-Quran”. Mereka mengklaim memiliki metode yang akan meningkatkan kecintaan anak kepada Al-Quran melalui program-program yang di supervisi ketat dan tingkat standard yang selalu terjaga kualitasnya. Orangtua yang masih kurang berpengalaman seperti saya sukar untuk tidak tergoda mencoba apa yang ditawarkan lembaga tersebut melalui SMP anak kami. SMP ini tidak murah, sama sekali tidak murah. Bahkan program digital class nya mengharuskan kami mengeluarkan uang lebih untuk memperlengkapi anak kami dengan iPad Generasi 7 (waktu kami beli harganya sekitar 7–8 Juta Rupiah). Memang tidak sederhana, tapi kami usahakan yang terbaik demi prinsip kami yang berlandaskan ayat pada surat At-Tahrim.
Bulan berganti bulan, anak kami sudah belajar Al-Quran di sekolah dalam program yang disusun U tadi. Seharusnya kami juga sudah lebih aware dari awal karena memang ada beberapa kali anak kami sampai menangis dan merasa ditekan oleh gurunya. Namun, kala itu kami besarkan hatinya dengan dalih karena hal yang baik memang jalannya sulit. Yang kami tidak sangka adalah puncaknya, yaitu ada tahapan yang dinamakan “Munaqasah”. Semacam ujian sesuai dengan level yang sudah ditetapkan lembaga U dari Surabaya tadi. Anak kami kebetulan di masukkan ke program Tahfidz Jus 30, dan diharapkan sudah mampu menghapal semua surat dalam Jus 30. Saat hari ujian itu tiba kami dampingi putri kami (sekedar catatan, ada beberapa tahapan lagi sebelum ujian yang diselenggarakan U dari Surabaya ini yang berkorelasi penuh terhadap artikel ini) karena diadakan online dengan menyaksikan ujiannya sembari memberi semangat.
Saat diumumkan hasilnya betapa terkejutnya kami, bukan karena nilai anak kami jelek tapi karena betapa ganjilnya nilainya. Berikut keganjilan-keganjilan tersebut.
- Kami ingat betul anak kami ditegur di surat At-tin karena salah satu hurufnya panjangnya kurang 2 harakat menurut pengujinya. Belum sampai anak kami mengulang, pengujinya sudah bicara yang kami kutip “Maaf, mungkin tadi koneksinya kurang baik jadi kurang terdengar”. Tapi di surat ini anak kami di beri nilai 9 (kurang sempurna).
- Di surat Al-Muthafifin, saat anak kami sedang membaca ayat pengujinya diganggu oleh anaknya. Anak kami secara reflek berhenti sejenak untuk memastikan kesiapan pengujinya mendengar bacaannya. Disini juga diberi nilai 9 (kurang sempurna).
- Di surat Abasa, pengujinya yang salah mengingat ayatnya. Diperbaiki oleh anak kami dengan sopan dengan bilang “Maaf Pak, bukannya harusnya ini?”, dijawab oleh pengujinya “Oh iya, maaf. Disini agak bising”. Di surat inipun diberikan nilai 9 (kurang sempurna).
Kok kami bisa mengingat 3 point itu begitu baiknya? Karena kami mendengarkan dan mendampingi. Selain itu, hanya pada 3 surat ini memang anak kami berkomunikasi dengan pengujinya dan di ketiga surat itulah anak kami dikurangi nilainya. Inilah keganjilan yang pertama.
Keganjilan berikutnya adalah saat akan dibagikan nilainya oleh guru pendampingnya, salah satu teman anak kami curhat dengan kesedihan dan kekhawatiran tidak lulus munaqasah karena anak itu merasa mengulang karena tidak ingat di 5 surat (perhatikan angka 5 nya). Tapi coba tebak berapa nilai anak ini? Sempurna semuanya, 10 untuk semua surat dan dinyatakan lulus sebagai lulusan terbaik. Keganjilan kedua. Terlepas apakah anak tersebut sengaja memanipulasi simpati anak kami atau tidak, betapa luar biasa ganjilnya seorang anak sampai menangis takut tidak lulus tapi mendapat hasil diatas rata-rata. Bisa mulai dirasakan betapa tekanan dari guru dengan metode yang diterapkan lembaga U ini sangat menyiksa mental anak? Bayangkan perasaan anak kami saat tahu nilainya dikurangi di-3 surat yang kami sebutkan diatas.
Keganjilan ke-3 adalah, semua nilai tersebut tidak ada detailnya. Kesalahannya apa, kekurangannya apa, apa catatannya, dan bagaimana untuk memperbaikinya. Semua karena tidak sempurna menurut standar lembaga U itu. Guru-guru di sekolah anak kami pun cenderung melempar semuanya ke lembaga U ini. Alangkah luar biasa sempurnanya lembaga ini mampu menjadi penghakim bagi kefasihan BAQ anak-anak tanpa bisa diganggu gugat atau dipertanyakan alasan nilainya demi kebaikan bersama (karena untuk tujuan memperbaiki dan belajar pun tidak bisa).
Untuk semua keganjilan tersebut kami menyampaikan keberatan kami melalui pihak sekolah. Ada beberapa miskomunikasi mulai dari katanya mau dites ulang sampai dengan kami menunggu konfirmasi seorang guru dari jam 9 pagi sampai jam 5 sore tanpa kabar (ini sekelas sekolah dengan level SPP nya sudah menyentuh angka 1 juta rupiah per bulan lho, ini layanan yang kami dapatkan). Akhirnya ada permintaan tabayun dari pihak panitia penyelenggara ujian munaqasah dan lembaga U ini. Kami jujur agak berat hati awalnya, karena kami berpendapat seharusnya ini bukan tanggung jawab kami melainkan tanggung jawab sekolah sebagai pemberi layanan kepada kami. Namun karena itikad baik kami terima.
Saat tabayun pihak penyelenggara diwakili Direkturnya dan lembaga U diwakili Direktur Pemasarannya, serta koordinator BAQ di sekolah anak kami juga hadir. Di pertemuan dengan Zoom Meeting itu, sudah ada pengakuan dan permintaan maaf apabila dirasa ada kekurangan (dicatat ya, ini minta maaf bukan karena kesalahan padahal mereka mengakui sendiri keganjilan-keganjilan yang kami sebutkan). Lembaga U ini tidak bisa membantah argumen kami karena mereka juga tidak merekam setiap ujian, dan menyerahkan kewenangan nilai kepada penguji. Sekali lagi, alangkah luar biasanya layanan yang kami terima. Semuanya tidak bisa dipertanggung jawabkan secara logika dan moral. Disinilah kemudian keluar pertanyaan dari Direktur Pemasaran Lembaga U ini, yang kami kutip “Jadi Bapak maunya bagaimana untuk mengganti kesalahan ini?”. Jadi mereka secara tidak langsung sudah mengakui ada kedzaliman disitu, walaupun mereka kesulitan tapi mereka maunya mengakhiri semua dengan memfasilitasi apapun yang kami inginkan. Yang penting selesai, begitu mungkin maunya mereka. Kami jawab bahwa kami serahkan semua pilihan kepada pihak sekolah dan lembaga U ini. Kami tidak mau sewenang-wenang, dan tidak senang diganti karena permintaan. Apa yang menurut lembaga U kami berhak dapatkan, berikan kepada kami. Itu pesan terakhir kami.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu. Tidak ada berita apa-apa lagi dari pihak U dan sekolah. Luar biasa, semuanya dianggap selesai dan kami terjemahkan (karena tidak ada kabar lagi) bahwa kami tidak berhak mendapatkan apa-apa. Walaupun pihak sekolah mengakui dan berkata akan memperbaiki kedepannya, tapi kami tidak diganti hak-haknya yang sudah dihilangkan. Pun begitu dari lembaga U, tidak ada kabar apapun. Semua masalah dianggap selesai tanpa merasa ada kewajiban apapun kepada kami sebagai pihak yang dirugikan. Kami merasa lembaga U ini sudah arogan sekali. Mereka sendiri mengakui ketidak profesionalan mereka dengan mengijinkan penguji menguji dari rumahnya masing-masing sehingga saat anak kami diuji pengujinya diganggu oleh anaknya, tapi tidak merasa perlu mengganti hal tersebut kepada kami. Apakah karena dianggapnya anak lain mengalami hal yang sama dan tidak bernasib seperti anak kami? Apakah menurut pembaca artikel ini hal tersebut bisa diterima secara logika?
Inilah pertanda kemunduran Islam di Indonesia. Bayangkan lembaga yang seharusnya mengajarkan kecintaan anak-anak generasi muslim masa depan kepada Kitabullah Al-Quran kelakuannya semacam ini. Bagaimana kita bisa mengharapkan anak-anak kita akan mencintai Al-Quran kalau pola seperti ini masih dipertahankan? Saya sendiri salah, kesalahan terbesar saya mempercayakan pendidikan Al-Quran anak kami kepada lembaga U ini melalui sekolah yang kami pilih untuk pendidikan anak kami. Kami jujur, merasa tertipu dengan segala macam promosi dan demonstrasi yang ternyata pada saat imtihan bisa kami saksikan jauh dari standard yang mereka bangga-banggakan sendiri. Ada baiknya bagi para orangtua untuk tidak memilih sekolah anak dengan cita-cita terlalu muluk seperti kami. Saat kami cek kelapangan ternyata hal begini ini jamak terjadi di sekolah Islam, dengan varian yang bermacam-macam. Pada akhirnya, semua dikalahkan oleh politik praktis dan faktor keberpengaruhan orangtua atau kerabat siswa. Jangan ulangi kesalahan kami, saat anda dirugikan sekolah bila anda bukan siapa-siapa yang penting maka saat itu juga masalah anda dinyatakan selesai secara sepihak tanpa kompensasi apapun. Walaupun jumlah biaya yang dibebankan sama. Lembaga-lembaga pendidikan berlabel Islam itu alat promosi saja, prakteknya mirip sekolah-sekolah swasta di film-film drama Korea. Kalau anda keluarga pejabat, maka kehidupan sekolah anda enak. Kalau anda kaum jelata, silakan telan semua kenyataan pahit bahwa kepentingan anda harus dikalahkan untuk kepentingan kaum elite sekolah.
Tidak akan mungkin Islam akan berjaya di Indonesia, apabila Islam hanya digunakan sebagai tameng oligarkis kaum borjuis. Semua hanya topeng semata supaya anda mau membayar mahal dengan iming-iming pendidikan terbaik secara Islam. Kenyataannya, anda itu hanya penjamin gajiannya para guru dan staf di sekolah itu. Serta bagian penyumbang keberlangsungan hidup lembaga dengan arogansi selevel lembaga U dari Surabaya itu. Kalau anda memang siap dengan konsekuensi ini, masukkan anak anda. Tapi kalau anda seperti saya dulu, mohon masukkan artikel ini sebagai bagian dari pertimbangan anda saat memilih sekolah untuk anak anda. Saya berdoa, cukup saya saja yang mengalami nasib buruk seperti ini.